Rabu, 18 Juli 2012

UN SOUVENIR DE WIDORO



Jumbara Daerah PMI Provinsi Jawa Tengah pada tanggal  5 – 10 Juli 2012 telah berlalu. Ada kenangan yang mengusik hati untuk menuliskannnya sebagai sebuah memori. Barangkali dapat disebut sebagai, “Memory of Widoro 2012”.
 Bagi saya upacara pembukaan Jumpa Bhakti Gembira (Jumbara) Palang Merah Remaja (PMR) dan Temu Karya Korps Sukarela (KSR) PMI Tingkat Jawa Tengah tahun 2012 di Bumi Perkemahan Widoro Karangsambung, Kebumen telah berlangsung dengan meriah dan mencengangkan.
Hari itu Jumat (6/7). Wakil Gubernur Jateng  Dra Hj Rustriningsih, MSi yang menjadi pembina upacara pembukaan. Secara simbolik membuka kegiatan yang berlangsung hingga hari Selasa (10/7). Di tribun kehormatan hadir juga Ketua Pengurus PMI Jateng H. Sasongko Tedjo, SE, MM; Kepala Bakorwil III Jateng,  Ir. Satrio Hidayat; Bupati Kebumen, H. Buyar Winarso, SE; Kapolres, AKBP Heru Trisasono, SIK, MSi; Dandim 0709, Letkol. Inf. Dany Rakca Andalasawan, SAP; Ketua DPRD Kabupaten Kebumen, Ir. Budi Hianto Susanto,  dan jajaran forum komunikasi pimpinan daerah. Berjajar pula para Pengurus PMI Jateng dan Ketua PMI Kabupaten/Kota se Jawa Tengah.
Meriah dan mencengangkan I
Devile kontingen sungguh sangat meriah. Barisan yang mengular diawali oleh Kabupaten Blora dan diakhiri oleh Kabupaten Purworejo. Tiap-tiap kontingan dari 35 kabupaten/kota menampilkan ciri khas masing-masing. Baik melalui unsur seragam, pakaian, kesenian tradisional, makanan khas, kerajinan khas, pakaian adat, cerita rakyat sampai pada alat musik dengan bunyi yang khas pula. Meriah!
Jika satu kontingen memerlukan waktu dua menit maka perlu waktu 70 menit untuk sampai ke kontingen terakhir. Rupanya waktu sangat diperhatikan oleh petugas pengatur barisan. Tampak begitu sibuknya petugas memberi aba-aba agar seluruh kontingen berjalan cepat. Upacara harus segera dimulai. Tribun menghadap ke timur, saat itu sinar matahari sudah menyentuh deretan tamu penting. Acara tingkat Jawa Tengah dengan Pembina Upacara Wakil Gubernur pasti memiliki tingkat ke-protokoler-an yang tinggi. Semua demi kenyamanan dan keamanan para petinggi yang hadir.
Saya sungguh tercengang ketika di depan para tamu undangan, dari antara peserta devile, dengan tenang, bergeruduk,  rame-rame, tanpa mengindahkan sifat keprotokoleran, mendekati Wakil Gubernur Jateng  Dra. Hj. Rustriningsih, MSi, berjabat tangan, bahkan ada pula yang memberi cendera mata.
Dimana etika dan aturan protokoler saat itu berada? Entah dimana! Barangkali karena acara ini kegiatan PMI, maka yang menjadi pedoman adalah Tujuh Prinsip Palang Merah: kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan dan kesemestaan; semua yang hadir dianggap sederajat. Bahasa Italianya: Siamo tutti frateli; semua adalah saudara. Baguslah!
Meriah dan mencengangkan II
Tahapan acara yang beruntun adalah: Pengibaran bendera Jumbara, Pengucapan 7 Prinsip PM dan Tri Bhakti PMR, Penyematan Tanda Peserta, Penekanan tombol sirine, Pembukaan Selubung Maskot Walet, lima kegiatan yang hampir beruntun ini disambut sangat meriah oleh para peserta dan terutama para juru foto. Juru foto resmi dari media, juru foto dari panitia, dari Pembina, dan dari siapapun yang pegang kamera boleh maju, mendekati obyek foto yang ada di tengah lapangan upacara.
Saya melihat orang “pating seteyap” menuju obyek foto, sehingga yang lebih tampak adalah bagian belakang mereka, dari pada petugas upacara yang sedang melaksanakan tugas. “Dimana etika mereka di upacara yang sangat resmi ini?” Jawabnya: Siamo tutti frateli; semua adalah saudara!
Ketika acara doa, setelah buka selubung wallet, saya tidak sempat berdoa penuh. Sebab saya tercengang-cengang. Di saat mayoritas peserta upacara dan Pembina Upacara, Wakil Gubernur Jateng  Dra. Hj. Rustriningsih, MSi, menundukkan kepala, takzim menghayati doa yang dibacakan oleh petugas doa, ternyata di bawah Maskot Walet ada tujuh orang dengan atribut peserta Jumbara, asyik berfoto-ria. Mereka bergantian mengambil gambar, berbagai pose dan sudut kamera yang diubah-ubah. Mereka bertujuh jelas di arena upacara, sepuluh meter dari pembina upacara. Sementara itu lima meter dari tempat saya berdiri, seorang PMR Wira putra, berlagak membagikan uang di atas tangan PMR Wira Putri yang sedang khusuk menadahkan kedua tangannya.  Astaghfirullahaladzim.  Mengingat Siamo tutti frateli, semua adalah saudara, saya pun bertanya dalam hati, “Dimana etikamu, Saudaraku?
Meriah dan mencengangkan III
Puncak kemeriahan justru pada suguhan tari kuda lumping (ebeg) kolosal oleh anak-anak SD dan kemudian Simulasi Gempa Bumi di sebuah sekolah, di akhir acara. Tari kuda lumping dilakukan oleh sekitar 200-an anak SD. Tentu dari berbagai SD. Terlihat dari seragam sekolah saat gladi bersih.  
Musik ebeg, live, pun berbunyi, sang penari kecil-kecil berbaris rapi ke tengah arena. Sang pembina yang pakai jaket hitam ikut masuk arena dan mengatur siswanya. Menurut saya pembina ini harusnya dandan penari, jadi matching dengan perannya. Apa bedanya latihan dengan tampil resmi?
 Seiring dengan nada riang musik ebeg, agak mirip dengan musik reog, pertunjukkan pun sangat meriah. Di antara penari kecil-kecil ini ternyata nimbrung pula para peserta dari kontingan: personel yang pakai topeng, yang pakai atribut penari, yang berperan sebagai wayang, dan lain-lain.
Mencengangkan di arena pertunjukkan ini ternyata terdapat penari ebeg, dolalak, bawor, tari topeng, tari 5 gunung, baruklinting, barongsai, wayang orang, campur aduk dengan puluhan ibu-ibu yang membawa kamera untuk mengambil gambar anaknya dari jarak dekat. Campur aduk tapi sungguh meriah.
Banyaknya orang di tengah lapangan ini tak usai juga, sampai saat pertunjukkan simulasi gempa bumi. Banyak orang di arena pertunjukkan. Saya sulit mengenali mana yang berperan jadi anak sekolah, jadi guru, jadi penolong, jadi KSR, mereka baur dengan para juru foto amatir. Anak-anak SD sudah berlatih berhari-hari, anak PMR Wira juga. Merasa sukseskah mereka tampil di upacara pembukaan ini?
Yang jelas mereka semua saudara!
Meriah dan mencengangkan IV
Usai sudah upacara pembukaan. Matahari cepat sekali berjalan. Sebentar kemudian matahari hampir menyentuh puncak langit. Sholat Jumat! Setiap laki-laki muslim diwajibkan untuk sholat Jumat. Dimana kita sholat Jumat? Ah, barangkali di mushola besar, atau di lapangan yang teduh? Adakah air untuk wudhu? Astaghfirulloh, tak ada sholat Jumat di Bumi Perkemahan Widoro. Dan semua seakan menuju satu masjid di utara perkemahan.
Masjid pun segera penuh dengan jamaah tiban. Tak ada tempat tersisa. Jejel riyel. Mereka yang membawa tikar segera digelar, di segala tempat, asal memenuhi syarat sebagai jamaah. Tempat dekat wudhu yang becek terdapat jamaah. Sandal, sepatu tak tampak lagi. Di atasnya digelari tikar untuk berjamaah. Saya tercengang! “Sulitkah menyiapkan petugas dan tempat untuk sholat Jumat di perkemahan?” Tak tahulah! Sioma tutti frateli, semua adalah saudara.
Nah, satu yang saya tak paham.
Bagi yang paham, tolong jelaskan kenapa di perkemahan Jumbara kata SIAMO menjadi salam pembuka dan salam penutup setelah petugas informasi menyampaikan pengumuman! Saya tidak paham Bahasa Italia, tapi ketika membuka translate.google.co.id;  siamo = adalah;  tutti = semua;  fratelli = saudara. Ketika dirangkai: SIAMO TUTTI FRATELLI  = Kita semua adalah saudara.
Lah, akan ikutan memberi salam SIAMO jadi ragu, sebab terjemahannya “adalah”, bahasa Banyumasanne “adalah” angger ora salah “mbokan” utawa “toli”. Siamo tutti fratelli = kabeh penginyongan toli sedulur = kabeh penginyongan mbokan sedulur.
Salam Siamo! Salam Mbokan! Mbokan salah!
Terimakasih untuk semuanya. Tulisan ini hanya sekedar kenangan. Hemat kami, protokoler adalah hal yang penting, dan etika beraktivitas juga perlu untuk dicermati. Untuk menjadi perhatian bagi rekan-rekan yang kemarin lupa menjaga etika. Mohon maaf kepada Kebumen, kamilah yang telah lupa diri.
Kebumen telah menjadi tuan rumah yang baik dan ramah.
Mohon maaf jika tidak berkenan dengan tulisan ini!
Salam!

1 komentar:

header

header